TIDAK MENGAMBIL APAPUN KECUALI FOTO,TIDAK MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU DAN TIDAK MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK KAKI

Wednesday, August 31, 2016

BUNGA SEDAP MALAM DI KETINGGIAN 3432 Mdpl

Saya terima seuntai bunga sedap malam yang merupakan amanah dari sahabatku Dariyana Hamokwarung dan saya persembahkan untuk almarhum Sebastianus Herdiansyah yang meninggal dunia pada tahun 1992 akibat diterpa badai di pucak Gunung Slamet lewat jalur Kaliwadas. 

Sore itu 13 Agustus 2008, pukul 14.30 cek kelengkapan terakhir team advance yang berjumlah 4 orang guna mempersiapkan keberangkatan awal pada esok harinya, kelengkapan team advance telah lengkap dan caril siap di selimuti oleh covernya.
Tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dariyana Hamokwarung seorang perempuan asal daerah Irian Jaya bergegas dengan nafas yang terengah-engah menghampiri saya dan memberikan serangkaian bunga sedap malam kepada saya, saat itu saya bertanya kepadanya untuk apa bunga ini kamu berikan kepada saya, lalu dia menjawabnya dengan nafas yg masih terengah-engah lantaran baru saja sampai membeli bunga itu dan dia berkata tolong serangkaian bunga sedap malam ini kamu letakkan dipuncak Gunung Slamet tepat pukul 10.00 WIB tidak banyak cerita lagi lalu saya taruh bunga itu di atas caril yang telah siap diangkat.


Waktu makin cepat dan malam mulai larut diskusi pendakian makin hangat mengingat pendakian ke Puncak Slamet nantinya dengan personil yang cukup banyak yaitu 50 orang dari seluruh DPC Jasmapala Jabotabek, Semarang, Bandung, Cirebon, dan Surabaya. Tak terasa hari ini tanggal 14 Agustus 2008 saya mulai tidur dan pukul 05.00 mulai bangun guna mempersiapkan keberangkatan team menuju Kampung Rambutan, mengingat bis Patas Jakarta – Purwokerto berangkat pukul 7.30 maka team advance berangkat lebih awal guna mempersiapkan semuanya, pada pukul 6.20 team advance tiba di terminal Kampung Rambutan, cek kelengkapan di mulai lagi ternyata bunga sedap malam tertinggal di base camp, tidak ada diskusi lagi segera saya panggil ojek untuk mengambil bunga itu, maka saya dapat bergabung kembali di terminal Kampung rambutan dengan waktu yang tepat yaitu 10 menit sebelum bis Patas itu berangkat.

Pukul 7.30 tepat bis Patas Jakarta – Purwokero berangkat meninggalkan terminal Kampung Rambutan team advance melanjutkan tidurnya masing-masing, waktu bergulir semakin cepat tak terasa di pertigaan Yaomani kami telah sampai kemudian menurunkan caril masing-masing bus Patas meninggalkan kami untuk melanjutkan perjalanan menuju terminal Purwokerto, ketika saya mengangkat caril tiba-tiba ada kegundahan dalam pikiran saya ternyata bunga sedap malam tertinggal di kabin bus itu, dengan pergerakan dan keputusan yang cepat lalu saya kejar bis Patas tersebut dengan ojek berkecepatan tinggi ahirnya bis menepi lalu saya ambil bunga itu yang kemudian saya dapat bergabung kembali dengan team. 

Angkutan pedesaan telah menunggu kami untuk menuju sebuah desa di kaki gunung Slamet dan tawar menawarpun terjadi antara team dengan sopir angkutan pedesaan tersebut dan ahirnya harga disepakati, caril disusun diatap angkot dengan ikatan wibing yang cukup kuat karena menggunakan ikatan simpul maka angkutan pedesaan siap diberangkatkan, mengingat sesaknya penumpang kami bergelantungan seperti monyet ragunan, beberapa tikungan telah dilewati tak lama kemudian ditikungan tajam terlintas sibunga sedap malam terlempar dari punggung kejalan dengan spontanitas saya melompat dan mengambil bunga itu dan kemudian mengejar angkutan pedesaan yang berjalan agak lambat kemudian saya dapat bergelantungan kembali seperti monyet ragunan.

Sampailah di Desa Guci yang sejuk, tenang dan bersahabat kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah mengingat perjalanan yang sangat panjang, kemudian menaruh caril didepan warung lalu kami memesan minuman hangat dan beberapa menu beraneka ragam pilihan untuk segera menyantap makanan dengan lahap di kedai tersebut, makan telah usai karena kampung tengah (perut) sudah terisi padat lalu kami ingin melanjutkan perjalanan ke base camp, terkejut seketika saat bunga sedap malam hilang dibawa orang karena bunga tersebut saya letakkan diatas caril, dengan cepat saya mencari bunga tersebu sekitar 10 menit bunga itu dapat saya temukan dan kembali ketangan saya untuk disampaikan.

Pada keesokan harinya tanggal 15 Agustus pukul 8.00 kami melakukan pendakian awal dengan team guna mempersiapkan realokasi batas vegetasi yang nantinya sebagai tempat berkumpulnya team Jasmapala agar dapat bersatu mengingat puluhan pendaki dari berbagai daerah akan menuju puncak Slamet lewat jalur Guci, dengan semangat dan kebersamaan team advance yang berjumlah 4 orang kami dapat melewati pos I, II dan III 

Pos III–Pos IV (2480 mdpl), track menuju pos IV ini cukup panjang, berat dan sangat melelahkan bagi para pendaki walaupun pada jalur ini terdapat 2 pos bayangan untuk dapat digunakan melepas lelah sejenak guna dapat meneruskan perjalanan, maka disinilah para pendaki memanfaatkan istirahatnya sejenak untuk dapat menuju pos IV, kami memanfaatkan istirahat sejenak untuk menyantap nasi bungkus yang kami bawa dari base camp, makanpun cepat usai karena nikmat ditambah dengan isapan sebatang rokok menambah nikmatnya kebersamaan dalam pendakian. 

Perjalan kami lanjutkan setelah tenaga pulih dengan istirahat yang cukup maka langkah kian semangat medan berat kian terlihat bebarapa pohon tumbang dan tanjakan menantang dapat dilampaui walau ahirnya kami beristirahat kembali, tak lama kami istirahat seorang teman menanyakan bunga sedap malam yang saya letakkan disaku caril kanan ternyata tidak ada, rasa lelah tiba-tiba datang karena si bunga tersebut tak henti-hentinya mengganggu konsentrasi saya dan team, dengan langkah gontai saya sisir bunga tersebut turun menuju pos III dan ternyata jatuh di dekat akar tumbang yang saya lompati tak jauh dari pos III, langkah makin kecil saya paksa untuk lebih cepat bergabung dengan team yg berjalan terus dengan perlahan dan saya berusaha dapat bergabung dengan nafas yg terengah-engah, tak lama kemudian tibalah kami di pos IV.

Pos IV – Pos V (Pondok Eidelweis) 2740 mdpl, track menuju batas vegetasi cukup terjal dan sangat menguras tenaga bagi para pendaki untuk menuju batas terahir yang merupakan batas vegetasi dengan batuan vulkanik ditempat inilah para pendaki untuk melakukan istirahat guna memulihkan tenagasebelum menuju puncak. Team kami dibawah komando saya sendiri segera mendirikan 2 buah tenda dengan kapasitas 3 dan 4 orang, pada malam harinya cuaca sangat tidak bersahabat angin bertiup kencang dan rasa dingin mulai menusuk tulang, kami segera merebus air panas untuk membuat segelas kopi dan wedang jahe agar tubuh menjadi hangat dan segar.

16 Agustus 2008 tak terasa pagi telah menjemput kami bangun pukul 7.00 waktu puncak Slamet dan kami segera berkemas menuju puncak untuk memasang tambang sepanjang 200 m di jalur pendakian guna membantu sekaligus pengamanan para pendaki Jasmapala untuk keesokan harinya, dari batas vegetasi sampai puncak dibutuhkan waktu 2 - 3 jam mengingat di daerah ini sering terjadi badai gunung, oleh karena itu pendakian dilakukan pada pagi hari. 

Team telah bergerak menuju pertengahan puncak untuk memasang tambang dan pasak, saya membawa tambang dan kinot membawa linggis guna alat bantu pemasangan pengaman jalur, ahirnya tambang telah terpasang saya segera melakukan attack ke puncak Slamet guna menancapkan bunga sedap malam tepat pukul 10.00 waktu Puncak Slamet, waktu makin sempit saya masih berada ditengah-tengah pada ketinggian 3100 Mdpl untuk mencapai ke puncak Segoro wedi dengan ketinggian 3432 Mdpl, saya terus memacu langkah untuk dapat meletakkan bunga tersebut tepat pukul 10.00, rasa lelah tak terasa langkah terus bergerak kepuncak tiba-tiba bunga yang saya letakan dipunggung jatuh dan merosot ke bawah lebih kurang 25 meter dalam hati kecil saya berkata “Alhamdulillah bunganya tidak merosot ke jurang kearah kanan saya andai itu terjadi tamatlah riwayat bunga sedap malam” bergegas saya turun untuk mengambil bunga tersebut lalu melanjutkan pendakian menuju puncak. 

Tak jauh terlihat puncak Slamet yang begitu besar dan hamparan kaldera yang sangat luas serta menakjubkan yang biasa disebut dengan Segoro Wedi, akhirnya pada pukul 9.50 saya tiba di puncak dan menancapkan bunga sedap malam titipan sahabat saya Dariyana Hamokwarung diatas tumpukan batu di puncak gunung Slamet sebagai gunung tertinggi di wilayah Jawa Tengah 3432 Mdpl. 

Selamat jalan sahabat prestasimu tetap kami kenang di setiap pendakian.

By: Pend@ki Li@r

Wednesday, April 29, 2015

MENGGAPAI PUNCAK SEJATI GUNUNG RAUNG


INDONESIA merupakan Negara yang kaya akan panorama alam yang menawarkan keindahan yangmempesona bagi kita para pecinta kegiatan alam bebas. Salah satu dari itu adalah gunung, pulau jawakhususnya memiliki banyak sekali berjajar pegunungan-pegunungan, salah satunya kawasan pegunungan ijen dimana terdapat satu gunung yang menawarkan keindahan yang mempesona serta tantangan yang sangat menarik bagi kita yang memiliki kegemaran pegiat alam bebas, yaitu Gunung Raung. Gunung Raung dengan ketinggian 3.344 mdpl dari jalur Banyuwangi merupakan gunung dengan jalur pendakian terekstrim di Pulau Jawa, Bali dan Lombok.  
Berikut ini adalah hasil catatan perjalanan saya dalam pendakian menuju Puncak Raung Sejati  jalur Kalibaru selama 5 hari dari tanggal 31 Oktober - 4 November 2013.
 Letak Administratif
Dusun                          :  Wonorejo
Desa                            :  Kalibaru Wetan
Kecamatan                  :  Kalibaru
Kabupaten                   :  Banyuwangi
Provinsi                       :  Jawa Timur

Kondisi Cuaca
Secara umum iklim di Gunung Raung beriklim tropis. Suhu udara berkisar antara 0 – 25 ° C, dan suhu akan semakin tinggi di musim kemarau. Curah hujan cukup tinggi dan angin rata-rata berhembus kencang karena Gunung Raung sangat dekat dengan laut.
Flora
Flora yang ada di Gunung Raung beragam misalnya: pinus, cemara gunung, rotan, honje, pisang hutan, semak-semak, pohon cantigi dan eddleweis.
Fauna
Fauna yang ada diantaranya, macan kumbang, ular, tokek, ayam hutan, monyet, burung, elang, kampret, pacet dll
Kondisi Tanah
Gunung raung mempunyai jenis tanah alluvial karena dipengaruhi kondisi gunung yang aktif. Tanah di Gunung Raung adalah tanah  liat bercampur pasir yang dihasilkan aktifitas Gunung Raung sedangkan area puncak adalah batuan lepas dan berpasir.
Jalur Pendakian
Gunung Raung jalur kalibaru merupakan jalur pendakian terekstrim di Pulau Jawa, Bali dan Lombok ini diperlukan waktu pendakian normal selama 6 hari yang tentunya diperlukan juga fisik dan mental yang bagus serta peralatan khusus dan teknik pemanjatan untuk menggapai puncak sejatinya. Berikut ini adalah jalur pendakian dan pos yang akan dilewati untuk mencapai Puncak Sejatinya:

Base Camp (Rumah Pak Suto, Dusun Wonorejo) – Pos atau Camp 1 (kebun kopi)
Di mulai dari base camp rumah Pak Suto akan berjalan sejauh 5600 m, melewati perkebunan penduduk yang mayoritas adalah perkebunan kopi, dan sekitar 3 jam kemudian akan tiba di pos 1 yang ditandai dengan rimbunnya perkebunan kopi. Di sebelah kiri jalur pos 1 ini ada jalur menuju sungai yang merupakan sumber air terakhir di jalur pendakian ini, di sini diharapakan setiap pendaki untuk mengisi perbekalan air sebelum melanjtukan pendakian, dimana minimal setiap pendaki harus membawa 10 liter air. Pos 1 ini terletak pada ketinggian 980 mdpl dan koordinat 8°12’14’’ LS dan 114°00’05’’ BT

Pos 1 – Camp 2
Dari pos 1 berjalan akan berjalan melewati batas perkebunan dan hutan, kemudian mulai memasuki hutan yang lebar namun lebat dengan pepohonan dimana terdapat banyak pohon dan semak berduri, jalan yang dilalui belum banyak menanjak dan cenderung melipir menyisiri hutan. Diperlukan waktu normal selama kurang lebih 4 jam untuk menempuh jarak dari pos 1 menuju camp 2 sejauh 4.130 meter. Camp 2 ini merupakan tempat camp yang terluas selama jalur pendakian dan pendaki dapat bermalam disini camp 2 ini terletak pada ketinggian 1.431 mdpl dengan koordinat 8°10’27’’ LS dan 114°01’11’’ BT

Camp 2 – Camp 3
Dimulai dari camp 2 inilah para pendaki akan mulai melalui track menanjak mengikuti punggungan dan tidak lagi melipir. Track yang dilalui cukup sempit dimana di sebelah kirinya adalah jurang diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk mencapai camp 3, di camp 3 ini terletak persis di tengah jalur pendakian namun agak luas dan dapat mendirikan camp dengan 2 tenda, camp 3 terletak pada ketinggian 1.656 mdpl dan koordinat 8°9’56’’ LS dan 114°0134 BT.

Camp 3 – Camp 4
Lepas dari camp 3 pendakian dimulai dengan melalui jalan landai, kemudian akan melewati turunan sebelum berpindah punggungan dan melalui jalan menanjak yang cukup panjang. Setelah kurang lebih 2 jam akan tiba di camp 4, sebuah tanah lapang yang sempit namun dapat digunakan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian. Camp 4 terletak pada ketinggian 1.855 mdpl dan koordinat 8°9’19’’ LS dan 114°01’52’’ BT.

Camp 4 – Camp 5
Pendakian pada rute ini masih tetap dalam satu punggungan namun track yang dilalui semakin terjal dan rapat dimana banyak terdapat pohon berduri (disarankan selama pendakian menggunakan pakaian lengan panjang), bila hujan jalur ini akan menjadi sangat licin. Waktu yang diperlukan untuk melalui rute ini adalah selama lebih kurang 45 menit dan camp 5 ini tidak terlalu luas namun sedikit di bawah camp 5 juga terdapat tempat yang cukup luas untuk beristirahat dan biasanya di area camp 5 ini digunakan untuk tempat beristirahat makan siang sebelum melanjutkan pendakian. Camp 5 terletak pada ketinggian 2.115 mdpl dan koordinat 8°08’59’’ LS dan 114°01’58’’ BT.
  
Camp 5 – Camp 6 atau Pos 3
Setelah beristirahat di camp 5 bersiaplah kita untuk melanjutkan pendakian yang semakin berat dimana jalurnya semakin terjal serta tipis dimana kanan-kiri jurang untuk itulah diharapkan berhati-hati saat melintasi rute ini. Rute ini tidak terlalu lama karena hanya sekitar 30 menit akan tiba di camp 6 atau pos 3. Di camp 6 ini terdapat area camp yang berundak – undak sebanyak 3 undakan dan dapat digunakan untuk tempat bermalam. Camp 6 terletak pada ketinggian 2.285 mdpl dan koordinat 8°08’49’’ LS dan 114°02’02’’ BT 

Camp 6 atau Pos 3 – Camp 7
Pendakian pada rute ini semakin berat dimana akan semakin mendekati puncak Gunung Wates, yang tentunya tracknya semakin terjal, jalur pendakiannya pun semakin terbuka dan udara semakin dingin diiringi angin yang semakin kencang dan  kabut tipis yang mulai turun menutupi jalur pendakian, setelah sekitar 45 menit kita akan tiba di camp 7, yang merupakan camp di area terbuka sebuah dataran yang cukup luas dan sangat terbuka, dapat mendirikan 3 tenda.
Di camp 7 ini kita dapat menikmati pemandangan negeri di atas awan yang sangat indah, dimana di depan terdapat puncak gunung wates, sebelah kiri dan kanan kita dapat melihat berjajar punggungan serta lembahan, dari kejauhan juga mulai tampak puncak raung yang berbentuk bebatuan, apabila malam dan kondisi cerah pemandangan bintang-bintang yang bertebaran di langit yang memancarkan sinarnya serta gemerlap lampu-lampu di perkotaan yang tampak dari kejauhan akan menjadi pemandangan yang dapat kita nikmati di malam hari, di camp 7 ini pun mulai terdapat bunga edelweisss yang apabila mekar menjadi pemandangan indah bagi kita. Kondisi di camp 7 ini tanahnya rawan longsor dan juga udara dingin serta angin yang berhembus kencang dikarenakan areanya yang sangat terbuka, untuk itulah agar berhati-hati jika ingin bermalam di camp 7 ini. Camp 7 terletak pada ketinggian 2.541 mdpl dan koordinat 8°08’24’’ LS dan 114°02’14’’ BT 

Camp 7 – Camp 8
Perjalanan dari camp 7 menuju camp 8 diawali dengan melewati punggungan terakhir menuju puncak gunung wates selama sekitar 45 menit, sementara itu jalurnya cukup terjal dan rapat oleh pohon berduri.  Dari puncak gunung Wates pendakian dilajutkan dengan melipiri punggungan yang sangat tipis dengan bibir jurang yang sangat membutuhkan konsentrasi dan kehati-hatian. Setelah berjalan melipir kita akan mulai melalui track menanjak dimana mulai terdapat vegetasi khas puncak gunung. Total waktu menuju camp 8 ini adalah sekitar 2 jam perjalanan normal, camp 8 terletak pada ketinggian 2.876 mdpl dan koordinat 8°08’12’’ LS dan 114°02’30’’ BT  

Camp 8 – Camp 9 atau Pos 4
Inilah rute terakhir yang harus dilalui sebelum mencapai puncak gunung raung, pada rute ini jalurnya semakin terjal mulai banyak bunga edelweiss dan vegetasinya pun semakin jarang serta pepohonan tua yang menjadi ciri khas sebelum puncak gunung. Setelah berjalan sekitar 1 jam barulah kita tiba di camp 9 atau pos 4 yang merupakan camp terakhir yang dapat kita gunakan untuk beristirahat, di camp 9 ini merupakan batas vegetasi sebelum melewati bebatuan untuk mencapai puncak raung. Camp 9 terletak pada ketinggian 3.023 mdpl dan koordinat 8°08’00’’ LS dan 114°02’33’’ BT 

Camp 9 atau Pos 4 – Puncak Raung/Puncak Kalibaru 3154mdpl 8°07’56’’ LS dan 114°02’55’’ BT
Dari camp 9 yang merupakan batas vegetasi selanjutnya kita berjalan selam lebih kurang 10 menit dan akan tiba di puncak semu gunung Raung dikenal dengan nama puncak Bendera 3.154 mdpl. Di atas puncak gunung Raung inilah kita kembali dpat menikmati keindahan negeri di atas awan, dimana dapat memandangi indahnya awan yang serasa begitu dekat dan sejajar dengan kita, dari kejauhan tampak menjulang deretan punggungan gunung Argopuro dan Semeru.
Sementara pada arah sebaliknya dapat memandangi laut dan pulau Bali di seberang sana, selain itu di depan kita telah tampak jalur menuju puncak Sejati yang sangat menantang, bebatuan dengan kanan kiri jurang dalam yang cukup memacu adrenalin kita sebelum menapakinya, dan yang tidak kalah juga adalah pemandangan puncak 17 (pertama kali ditapaki oleh PATAGA Surabaya) yang berbentuk piramida yang seolah mengundang kita untuk segera mencapai puncaknya.  

Puncak Sejati Gunung Raung 3344 mdpl, 8°07’32’’ LS dan 114°02’48 BT
Inilah rute pendakian terakhir dan juga terekstrim yang harus kita lalui untuk mencapai puncak sejati. Dimulai dari puncak raung kita berjalan turun melipiri bibir jurang lalu mengikuti sebuah jalan landai dan akan tiba di titik ekstrim yang pertama, di titik ini kita harus melipir tebing bebatuan dimana di sebelah kanan adalah jurang sedalam 50 meter, untuk itulah di titik ekstrim pertama ini kita memasang jalur pemanjatan kurang lebih 5 meter, di jalur telah terpasang 1 buah hanger, 1 bolt dan di titik anchor atasnya terdapat pasak besi yang telah tertanam, dapat digunakan sebagai anchor utama.

Setelah melewati titik ekstrim 1 kita terus bejalan menanjak menuju puncak 17 atau piramida, sampai pada titik ekstrim yang kedua yaitu 10 meter sebelum puncak 17. Disini kita kembali harus membuat jalur pemanjatan, dimana leader melakukan artificial climb selajutnya setibanya di puncak 17 memasang fix rope untuk dilalui orang selanjutnya dengan teknik jumaring yang kemudian pendakian dilakukan dengan melipir dan menuruni bibir jurang yang tipis sekali, disini merupakan titik ekstrim ketiga yang juga harus dipasangi pengaman bisa dengan menggunakan tali kernmantel ataupun dengan membentangkan webbing sejauh kurang lebih 10 meter.  

Selepas dari titik ekstrim ketiga ini kita terus berjalan agak landai menelusuri jalan setapak yang sangat tipis sekali dengan kanan kiri jurang sedalam 50 meter, yang kita akan tiba di titik ekstrim yang keempat atau terakhir dimana kita harus memasang jalur untuk menuruni tebing 25 meter dan menggunakan teknik rappelling untuk mencapai ke bawah. Sesampainya di bawah kita masih harus melanjutkan perjalanan, agak berjalan menurun ke bawah kita tiba di sebuah tempat lapang dan teduh yang biasanya digunakan untuk tempat beristirahat sebelum melalui tantangan terakhir yaitu mencapai puncak tusuk gigi (bentuknya menyerupai tusuk gigi) dan puncak sejati.

Dari tempat istirahat ini perjalanan kembali menanjak dengan tingkat kemiringan yang cukup terjal dimana jalur yang harus dilalui adalah batuan lepas dan berpasir yang apabila diinjak rawan sekali untuk longsor, untuk itulah diperlukan kehati-hatian dan menjaga jarak antar pendaki selama melewati track ini agar apabila longsor batuan lepas tersebut tidak membahayakan pendaki di bawahnya.

Setelah mengakhiri tanjakan pada track bebatuan ini tibalah kita di puncak tusuk gigi yang tedapat banyak bebatuan besar dan setelah itu dari puncak tusuk gigi kita melipir ke belakang dan kemudian berjalan agak menanjak sekitar 100 meter tibalah kita di tempat yang menjadi tujuan akhir dari pendakian ini, PUNCAK  SEJATI GUNUNG RAUNG 3.344 Mdpl, ditandai dengan sebuah triangulasi dan plang Puncak Sejati serta pemandangan sebuah kawah besar yang masih aktif yang setiap saat mengeluarkan asapnya.
                                          
Catatan :
Pada saat melakukan pendakian disarankan para pendaki menggunakan pakaian safety (baju dan celana panjang, jika perlu dilengkapi geiters dikarenakan jalur yang dilalui banyak pohon berduri, dan pacet, serta hutan yang rapat). Setiap pendaki minimal membawa 10 liter air dikarenakan sumber air hanya terdapat di pos 1, dan untuk mengantisipasi kekurangan air di setiap camp disarankan membuat penampungan air/tendon (paling sederhana dengan membuatnya dari botol aqua besar yang dipotong terlebih dahulu).

Pada saat menuju puncak sejati, tenda dan perlengkapan lainnya ditinggal di pos 4 atau camp 9, dan hanya membawa daypack berisikan makanan, minuman dan perlengkapan pemanjatan (perlengkapan standar :tali kernmantel statis min 1 buah dengan panjang min 30 meter, webbing, carabiner screw dan non screw, jumar, figure of eight, prusik, harnest serta untuk mengantisipasi dapat pula membawa pasak besi untuk anchor tanam). ©copyright by Pendaki Liar

Monday, March 7, 2011

SEKILAS TENTANG SOE HOEK GIE

MELAMUN DI ATAS GENTING
“Gila . . . !!, Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie. “Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak - anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku - buku yang dibacanya.

Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66. Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak - puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.


TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol - ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang - kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba - tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman - temannya, memutuskan menumbuk sisa - sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga - bunga Edelweiss di Lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung.


Disadur oleh : Pendaki Liar
Sumber : http://belantaraindonesia.org



Saturday, January 22, 2011

ENDURANCE UNTUK PENDAKI

Dalam setiap pendakian ada beberapa pengetahuan yang harus dimiliki oleh pendaki seperti penggunaan kompas, teknik pendakian, perlengkapan, perbekalan. Namun kesemuanya itu tidak akan ada artinya jika ditunjang oleh kemampuan fisik yang baik. Pada prinsipnya untuk mendaki gunung dibutuhkan kekuatan dan daya tahan otot tertentu, serta memiliki kapasitas VO2 Max yang baik. Hal ini perlu sekali untuk mengatasi tipisnya oksigen di daerah ketinggian, dan mengatasi beratnya beban yang dibawa

Bagi seorang pendaki gunung, memiliki VO2 Max yang baik adalah perlu sekali, diatas 5.000 feet, kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan mulai terganggu. Sedangkan setiap kenaikan 1.000 feet setelah 5.000 feet akan menyebabkan berkurangnya kapasitas VO2 Max sebanyak 3%. Dan hal ini perlu diperhatikan oleh pendaki gunung, karena semakin tipisnya oksigen di udara akan menyebabkan HIPOKSIA, sehingga pendaki akan terkena MOUNTAIN SICKNESS dengan salah satu ciri-cirinya adalah pusing-pusing dan muntah.

Bila pendaki tidak mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif, misalnya, bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk melawan dinginnya udara dan kencangnya angin. Tidak bisa ditawar, mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah hal mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari rintangan dahan atau batu, otot tungkai dan tangan harus kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan karena dibutuhkan perjalanan berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak.

Bila tidak biasa berolahraga, calon pendaki sebaiknya melakukan jogging dua atau tiga kali seminggu, dilakukan dua hingga tiga minggu sebelum pendakian. Mulailah jogging tanpa memaksa diri, misalnya cukup 30 menit dengan lari-lari santai. Tingkatkan waktu dan kecepatan jogging secara bertahap pada kesempatan berikutnya. Bila kegiatan itu terasa membosankan, dapat diselingi dengan berenang. Dua olahraga itu sangat bermanfaat meningkatkan endurance dan kapasitas maksimum paru-paru menyedot oksigen (Volume O2 maximum/VO2 max).